“Disadari
atau tidak, ternyata tidak sedikit orang yang hancur luluh keimanannya
hanya karena ketidakmampuannya menghadapi musibah dalam hidup.
Salah satu penyebabnya karena salah dalam memahami makna musibah dan
salah pula dalam menyikapinya. Kesalahan seseorang dalam memaknai dan
menyikapi musibah akibatnya bisa sangat fatal terhadap keimanannya.”
Bagi
seorang mu’min tentu meyakini bahwa, segala sesuatu hanya akan terjadi
di dunia ini karena, “Kun Fayakun” Allah, sehingga segala sesuatu yang
terjadi dalam kehidupan ini terutama yang tidak kita inginkan harusnya
menjadi bahan “muhasabah” (introspeksi) atau “tazkirah” (peringatan) apa
yang sebenarnya sedang Allah rencanakan untuk kita.
Berbicara masalah musibah, sebenarnya musibah adalah sesuatu yang mutlak akan dialami oleh manusia dalam menjalani kehidupannya, baik seseorang itu yang kafir maupun mu'min. Jika musibah menimpa orang yang kafir, pasti itu adalah azab. Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia), sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. As Sajdah, 32 : 21).
Berbicara masalah musibah, sebenarnya musibah adalah sesuatu yang mutlak akan dialami oleh manusia dalam menjalani kehidupannya, baik seseorang itu yang kafir maupun mu'min. Jika musibah menimpa orang yang kafir, pasti itu adalah azab. Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia), sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. As Sajdah, 32 : 21).
Namun,
jika menimpa orang yang mu'min, pasti itu adalah bentuk kasih-sayang
Allah SWT. Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw pernah menyatakan, "Jika
Allah sudah mencintai suatu kaum maka Allah SWT akan memberikan bala,
ujian atau cobaan". Ini semakin mempertegas kepada kita bahwa musibah
bagi orang-orang yang mu'min itu sebagai bentuk kasih-sayang.
Paling
tidak, ada "tiga" kemungkinan yang mendasari terjadinya musibah yang
menurut Al Qur'an sebagai bentuk kasih-sayang Allah SWT kepada
orang-orang mu'min. Pertama, sebagai ujian keimanan bagi orang mu'min.
Kasih-sayang Allah kepada hamba-Nya yang mu'min di antaranya
ditunjukkan-Nya dengan menurunkan musibah dengan memberikan peluang
kepada hamba-hamba-Nya yang mu'min untuk mengikuti ujian dalam proses
peningkatan keimanannya. Allah SWT berfirman: "Adakah manusia mengira
bahwa mereka akan dibiarkan saja oleh Allah untuk menyatakan, "aamannaa"
(kami telah beriman) padahal Kami belum lagi memberikan ujian kepada
mereka. Sungguh telah Kami uji umat sebelum mereka, dengan ujian itu
jelaslah oleh Kami siapa yang benar pengakuan keimanannya itu dan siapa
pula yang dusta" (Al Ankabuut, 29 : 2-3).
Hakikatnya
ujian itu sendiri sebenarnya adalah sesuatu hal yang sangat positif,
yang tidak positif adalah jika seseorang yang telah diberi peluang untuk
mengikuti ujian lalu ia tidak memanfaatkan peluang tersebut secara
optimal sehingga tidak lulus. Betapa ruginya seseorang jika tidak diberi
kesempatan untuk mengikuti ujian. Sebaliknya, alangkah beruntung dan
bahagianya seseorang yang telah diberi peluang mengikuti ujian dan
berhasil lulus dalam ujiannya.
Disadari
atau tidak, selama ini kita mungkin telah banyak melakukan kekeliruan
dalam memaknai dan menyikapi musibah yang terjadi. Kadang pandangan kita
selama ini dalam memaknai dan menyikapi musibah terlalu cenderung pada
nilai duniawi. Kemudian kita menganggap ujian itu sebagai bentuk musibah
yang sebenarnya sesuatu yang tidak diharapkan. Sehingga ukuran
keshalehan seseorang pun kadang dilihat dari kurangnya musibah dalam
hidupnya. Ini pandangan yang keliru terhadap makna musibah yang
sebenarnya.
Kedua,
boleh jadi musibah sebagai bentuk kasih-sayang Allah SWT kepada
orang-orang mu'min "bukan" sebagai ujian keimanan, tetapi justru karena
Allah SWT sedang memilihkan hal yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya yang
dicintai-Nya. Namun, karena ketidakmampuan untuk bisa memahami hikmah di
balik dari suatu peristiwa, lantas kita akhirnya menganggap peristiwa
yang terjadi itu sebagai musibah.
Karena
ketidakmungkinan manusia “memastikan” apa yang akan terjadi (QS. Lukman
: 34) maka acapkali kita tidak bisa memahami hikmah di balik peristiwa
yang sedang terjadi. Terkadang kita baru bisa merasakan hikmahnya
setelah sekian lama mengalaminya. Pada saat peristiwa boleh jadi kita
menganggapnya sebagai musibah, tapi setelah berlalu beberapa waktu
mungkin seminggu, sebulan bahkan mungkin setelah beberapa tahun, barulah
kita menyatakan rasa syukur setelah menyadari hikmahnya.
Sebagai
contoh, seseorang sudah berniat bahkan telah melakukan berbagai macam
persiapan untuk menghadiri suatu acara penting yang tempatnya jauh dari
domisilinya di antaranya dengan memesan tiket pesawat. Pada saat
pemberangkatan, atas takdir-Nya ternyata ia terlambat hanya beberapa
menit. Ungkapan perasaan yang muncul saat itu mungkin ungkapan dalam
bentuk cacian, makian atau dan lain sebagainya. Setelah beberapa saat
kemudian melalui berita yang bersangkutan mendengar bahwa pesawat yang
semula akan ditumpanginya jatuh. Barulah saat itu dia sadar dan
bersyukur karena tertinggal pesawat.
Karena
ketidakmampuan membaca hikmah dari suatu peristiwa, maka sering terjadi
orang yang semestinya bersyukur malah mencaci-maki, yang semestinya
tertawa malah menangis. Sebaliknya, dia tertawa pada saat seharusnya dia
menangis. Semua ini terjadi oleh sebab ketidakmampuan manusia
memastikan apa yang akan terjadi, Allah SWT berfirman: "Tidak ada satu
jiwa pun yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi besok"(Luqman, 31 :
34).
Di
lain sisi Allah SWT juga mengingatkan, "Boleh jadi kamu sangat tidak
menyukai peristiwa yang menimpa diri kamu, padahal itu sangat baik
sekali bagimu. Boleh jadi sesuatu itu yang sangat kamu sukai, padahal
sesuatu itu yang sangat tidak baik bagi kamu. Hanya Allah-lah Yang Maha
Mengetahui, kalian tidak tahu apa-apa" (Al Baqarah, 2 : 216). Oleh
karena ketidakmampuan kita dalam memahami hikmah dari satu peristiwa
yang menimpa kehidupan kita, maka kita menganggap sesuatu itu tidak baik
padahal ia sangat baik. Sebaliknya, kita menganggap sesuatu itu tidak
baik, padahal ia sangat baik bagi kita. Jadi, sangat mungkin sekali
bahwa musibah yang menimpa diri kita saat ini sebenarnya bentuk
kasih-sayang-Nya, karena Allah sedang memilihkan sesuatu yang terbaik
bagi kita dunia dan akhirat.
Ketiga, bisa juga musibah yang menimpa kehidupan seorang mu'min "bukan" sebagai ujian keimanan dan "bukan" pula pilihan Allah yang terbaik, tetapi semata-mata azab dari Allah SWT bagi seorang mu’min masih dalam konteks kasih-sayang-Nya. Karena menurut Allah SWT hamba-Nya yang mu'min itu sudah mulai jauh meninggalkan syari’at-Nya di mana yang bersangkutan baru akan sadar jika diturunkan azab sebagai peringatan kepadanya agar ia segera kembali hidup di jalan yang diridhai-Nya.
Ketiga, bisa juga musibah yang menimpa kehidupan seorang mu'min "bukan" sebagai ujian keimanan dan "bukan" pula pilihan Allah yang terbaik, tetapi semata-mata azab dari Allah SWT bagi seorang mu’min masih dalam konteks kasih-sayang-Nya. Karena menurut Allah SWT hamba-Nya yang mu'min itu sudah mulai jauh meninggalkan syari’at-Nya di mana yang bersangkutan baru akan sadar jika diturunkan azab sebagai peringatan kepadanya agar ia segera kembali hidup di jalan yang diridhai-Nya.
Kalau
musibah itu merupakan ujian keimanan, maka kita harus bersyukur. Lebih
bersyukur lagi kalau musibah itu adalah pilihan Allah yang terbaik,
berarti Allah sedang sangat sayang kepada kita, sedang membimbing dan
menunjukkan apa yang terbaik bagi kita. Bahkan, kalau pun musibah itu
sebagai azab, tetap saja kita harus bersyukur kepada-Nya karena Allah
masih mau mengingatkan agar segera bertaubat dan memperbaiki diri
sebelum ajal menjemput kita.
Sebelum
tulisan ini saya akhiri, saya mengajak sidang pembaca untuk merenung
sejenak terhadap sebuah kisah yang layak kita jadikan "ibrah"
(pelajaran) bagi kita, di mana betapa luar biasanya buah keimanan dapat
mengecilkan arti musibah duniawi. Dikisahkan salah seorang tabi'in
bernama Urwah bin Zabir, yang Allah takdirkan salah satu kakinya dari
lutut ke bawah sakit hingga membusuk. Tak lama kemudian didatangkan 4
orang Tabib sebagai upaya penyembuhan. Ternyata hasil diagnosa 4 Tabib
menyimpulkan bahwa tidak ada cara lain kecuali harus diamputasi kaki
yang membusuk tersebut. Jika tidak, maka dikhawatirkan penyakitnya akan
menjalar ke seluruh tubuh.
Ketika
berita ini disampaikan kepada Urwah, dengan tenang dia mengatakan,
kalau memang itu adalah keputusan para Tabib, kenapa tidak segera
dilakukan ? Sebelum pelaksanaan operasi, disodorkanlah oleh Tabib
minuman kepada Urwah sambil mengatakan, silakan anda minum terlebih
dahulu. Ketika Urwah mau meminumnya terciumlah aroma lain, maka dia
bertanya, minuman apa ini ? “Arak”, kata Tabib. Maksudnya apa, tanya
Urwah. Jawab Tabib: “supaya anda mabuk agar mengurangi sedikit rasa
sakit karena sebentar lagi kaki anda akan kami gergaji mulai dari kulit,
daging hingga tulang. Dan, tentu saja akan terjadi pendarahan yang luar
biasa. Supaya darah tidak terus mengalir, maka sudah kami siapkan
"kuali" dengan minyak goreng yang sudah mendidih. Setelah kaki anda
dipotong agar jangan terus mengeluarkan darah maka kaki anda itu akan
kami masukkan ke dalam kuali agar cepat kering.
Jawab
Urwah, “Sungguh sulit diterima akal sehat jika ada seorang mu'min yang
beriman kepada Allah lantas dia meminum sesuatu untuk menghilangkan
akalnya. Sehingga dia sudah tidak ingat lagi siapa Tuhannya? Betapa saya
meragukan keimanan seseorang yang sampai mau meminum khamr sehingga dia
tidak sadar bahwa Allah itu ada, bagaimana bisa diyakini keimanan
seperti itu. Saya tidak ingin sedikit pun termasuk orang seperti itu,
untuk itu buanglah jauh-jauh khamr dari depan mukaku”.
“Lantas
apa yang mesti kami lakukan?”, kata Tabib. Urwah berkata: “setelah saya
memberi isyarat dengan tangan saya, silakan laksanakan tugas kalian,
gergaji kaki saya dan masukkan ke dalam kuali”. Lalu Urwah pun asyik
khusyu’ berzikir sampai kemudian dia angkat tangannya sambil terus
berzikir memejamkan mata pertanda dia sudah siap untuk digergaji
kakinya. Maka digergajilah kaki Urwah dan langsung dimasukkan dalam
kuali. Konon, dia sempat pingsan. Setelah siuman, sambil tetap berbaring
di tempat tidur, dia meminta kepada orang di sekelilingnya agar
potongan kakinya tersebut setelah dimandikan dan dikafani dan sebelum
dikuburkan dapat dihadirkan kepadanya.
Dibawakanlah
potongan kakinya dan sambil berbaring dia angkat potongan kaki itu
sambil mengatakan, Ya Allah, Alhamdulillah, selama ini Engkau telah
karuniakan saya dua kaki, kelak kaki ini akan menjadi saksi di akhirat
nanti. Ya Allah, Demi Allah, saya tidak pernah membawa dia melangkah ke
jalan yang tidak Engkau ridhai. Kini, Engkau ambil yang hakikatnya
adalah milik-Mu Ya Allah, innalillaahi wa inna ilaihi rajiuun,
mudah-mudahan saya masih bisa memanfaatkan kaki yang tersisa ini. Lantas
potongan kaki pun diberikan sambil ia meminta dikuburkan.
Nyaris
tidak ada kesedihan, tapi tiba-tiba Urwah menangis. Orang yang
menyaksikan sejak awal itu berkomentar: “kami semula begitu merasa
bangga dengan ketegaran anda, lalu kenapa engkau kini menangis, wahai
Urwah ?” Beliau menjawab: “Demi Allah, hanya Allah yang Mahatahu, saya
bukan menangis karena hilangnya satu kaki saya, yang hakikatnya milik
Allah, tapi yang membuat saya menangis hanyalah kekhawatiran, apakah
dengan kaki yang hanya tinggal satu ini saya masih bisa beribadah dengan
sempurna kepada Allah ?
Allahu
Akbar! Luar biasa keimanan Urwah, dunia menjadi kecil di mata orang
mukmin seperti Urwah ini. Siang hari dia menjalani operasi amputasi,
malamnya salah satu dari tujuh orang anaknya meninggal dunia. Ketika
berita duka ini disampaikan, beliau berkata, saya belum bisa bangkit
dari tempat tidur ini, karenanya tolong urus jenazahnya, mandikan,
kafani dan shalatkan. Sebelum dikuburkan ijinkan saya memegang sejenak
jenazah anak saya. Ketika jenazah putranya disodorkan kepadanya, ia pun
memegang jenazah anaknya sambil mengusap kepalanya dan bardoa, “Ya
Allah, Alhamdulillah, Engkau telah karuniai saya tujuh anak.
Mudah-mudahan sebagai ayah mereka sudah saya laksanakan kewajiban
mendidik mereka di jalan yang Engkau ridhai. Ya Allah, sekarang Engkau
ambil salah seorang di antara mereka, milik-Mu Ya Allah, bukan milikku.
Innalillaahi wa inna ilaihi rajiuun, mudah-mudahan Engkau masih
memberikan manfaat untuk 6 anak yang masih tersisa. Allahu Akbar, bagi
orang mukmin hanya Allah yang “Akbar” dunia dan segala isinya “kecil” di
mata seorang yang mencintai Allah di atas cinta kepada selain Allah
SWT.
Wallahu a’lam bish-shawab
Wallahu a’lam bish-shawab
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar